(LENGKAP)
HUKUM, NIAT, TATACARA & BACAAN “SHOLAT HAJAT” KHUSUS & “SHOLAT TAUBAT”
YANG BENAR: Panduan,Tuintunan, Keutamaan/Keajaiban Sholat Sunnah Hajat Mustajab
Agar Keinginan Terkabul (untuk Jodoh,dll) | Shalat taubat nasuha setiap hari,
Syarat Sholat Taubat, dll
Adakah
Shalat Hajat dan Shalat Taubat?
Tanya: Adakah shalat hajat dan
shalat taubat dalam syariat?
Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi,
Lc:
Tentang
shalat taubat, para ulama menyebutkan adanya shalat tersebut, walaupun
penamaannya dengan “taubat” tidak langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Dalil yang menunjukkan adanya
shalat yang dimaksud adalah hadits dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu
‘anhu berikut ini:
Aku mendengar Rasulullah bersabda,
“Tidak ada seorang muslim pun yang berbuat dosa lalu bangkit dan bersuci
kemudian melakukan shalat lantas meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuninya.” Lalu beliau membaca
ayat ini, “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada
Allah Subhanahu wa Ta’ala? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu,
sedangkan mereka mengetahui.” (Ali Imran: 135)
[Shahih, HR. Abu Dawud, kitab
al-Witr bab fil Istighfar no. 1523, at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat bab Fish
shalah 'inda Taubah no. 408, an-Nasa'i dalam kitab 'Amalul Yaum wal Lailah,
Ibnu Majah kitab Iqamatu ash-Shalah was Sunnah bab Ma Ja'a anna ash-Shalah
Kaffarah no. 1459, dan Ahmad, dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam
Shahih Sunan Abi Dawud]
Al-Mubarakfuri dalam Syarah Sunan
at-Tirmidzi menerangkan, bahwa makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“…lalu melakukan shalat…” yakni dua rakaat, sebagaimana dalam riwayat Ibnu
as-Sunni, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi.
Adapun sabda beliau “…kemudian
meminta ampun kepada Allah…” yakni dari dosa tersebut, sebagaimana dalam
riwayat Ibnu as-Sunni. Yang dimaksud dengan meminta ampun adalah bertaubat,
dengan menyesali dan mencabut diri (dari dosa tersebut), serta bertekad untuk
tidak kembali mengulanginya selama-lamanya, juga mengembalikan hak-hak (orang
lain) bila ada. (Tuhfatul Ahwadzi)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“Ditekankan untuk berwudhu dan shalat dua rakaat saat bertaubat, berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.” Beliau
kemudian menyebutkan hadits di atas. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surah Ali Imran:
135)
Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam
kitab Shahih-nya juga menyebutkan sebuah bab, “Disunnahkannya shalat setelah
berbuat dosa agar shalat tersebut menjadi penghapus dosa yang dilakukannya.”
Dari keterangan di atas, shalat
taubat itu ada dan disunnahkan.
Namun, perlu diingat bahwa seseorang
tidak boleh meremehkan dosa lantaran punya keyakinan bahwa shalat taubat
akan menghapus dosa yang dilakukannya. Terampuninya dosa bukan karena semata-mata
shalat tersebut, yang kondisi shalat itu sendiri terkadang kusyu’ terkadang
tidak. Niatnya pun terkadang benar dan terkadang tidak, bila demikian
keadaannya, bagaimana mungkin ia memastikan bahwa dosanya terampuni dengan
sekedar shalatnya?
Perlu dicermati juga dari haditr di
atas, shalat taubat tersebut adalah betul-betul sebagai ungkapan taubatnya.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “…lalu dia
meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”, yakni bertaubat dengan
syarat-syarat taubat yang telah diterangkan ulama, yaitu:
syarat-syarat taubat yang telah diterangkan ulama, yaitu:
1. Menyesali perbuatan dosanya
2. Meninggalkannya
3. Bertekad untuk tidak melakukannya
lagi selama-lamanya
4. Bila terkait dengan hak orang,
dia mengembalikannya kepada orang yang dizalimi.
Perhatian
Ada shalat taubat yang tidak
sesuai dengan tata cara di atas, sehingga termasuk bid’ah. Caranya, seseorang
mandi pada malam Senin setelah witir kemudian shalat 12 rakaat. Pada setiap
rakaat dia membaca al-Fatihah, al-Kafirun 1 kali, dan al-Ikhlas 10 kali… dan seterusnya,
dengan cara-cara yang tidak diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (Lihat
Mu’jamul Bida’ hlm. 343)
Shalat
Hajat
Adapun
shalat hajat, dalam hal ini perlu
didudukkan terlebih dahulu apa yang dimaksud hajat. Dari sini, kita akan
mengetahui apakah shalat tersebut disyariatkan atau tidak.
Hal itu karena saya dapati sebagian
ulama menetapkan adanya shalat hajat, sedangkan yang lain meniadakannya
bahkan menganggapnya bid’ah. Selain itu, di kalangan sebagian ulama yang
menetapkan atau yang membid’ahkan, maksud masing-masing mereka terhadap shalat
tersebut berbeda.
Penamaan shalat hajat itu
sendiri bukan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi dari para ulama.
Sebagian mereka melihat sebuah hadits shahih yang memuat anjuran untuk
melakukan shalat terkait dengan suatu kebutuhan atau hajat. Adapun ulama
lain melihat hadits lemah yang menganjurkan untuk shalat terkait dengan sebuah
hajat, mereka pun menyimpulkan shalat hajat tidak ada karena haditsnya
lemah. Oleh karena itu, di sini kami akan menyebutkan kedua-duanya.
Ulama yang menetapkan adanya shalat
hajat di antaranya al-Mundziri dalam kitab beliau at-Targhib wat Tarhib. Lalu
beliau menyebutkan hadits Utsman bin Hanif radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut:
Seorang buta datang kepada Nabi lalu
mengatakan,
“Berdoalah engkau kepada Allah
untukku agar menyembuhkanku.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
“Apabila kamu mau, aku akan menundanya untukmu (di akhirat) dan itu lebih baik.
Namun, apabila engkau mau, aku akan mendoakanmu.” Orang itu pun mengatakan,
“Doakanlah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menyuruhnya untuk berwudhu
dan memperbagus wudhunya serta shalat dua rakaat kemudian berdoa dengan doa
ini, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu
dengan Muhammad Nabiyurrahmah. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap
kepada Rabbku denganmu dalam kebutuhanku ini agar ditunaikan. Ya Allah,
terimalah syafaatnya untukku’.”
(Shahih, HR. At-Tirmidzi dalam kitab
ad-Da’awat dan beliau mengatakan hadits hasan shahih gharib, Ibnu Majah dalam
kitab ash-Shalah, dan beliau memberikan judul Shalat Hajat untuk hadits ini,
serta an-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum Wal Lailah. Dishahihkan oleh asy-Syaikh
al-Albani)
Sebagian ulama lagi menetapkan
adanya shalat hajat, tetapi maksudnya adalah shalat istikharah. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah mengatakan, “Hadits shalat istikharah, disebut juga shalat hajat,
karena istikharah adalah dalam hal kebutuhan yang sedang dialami seseorang,
sehingga disyariatkan bagi seseorang untuk melakukan shalat dua rakaat dan
memanjatkan doa istikharah dalam hal itu.”
Beliau rahimahullah juga menyebut
shalat taubat dengan shalat hajat. (Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 25/165)
Adapun ulama yang meniadakan
shalat hajat, mereka memaksudkan seperti yang terdapat dalam hadits dhaif
berikut ini. Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang mempunyai
kebutuhan kepad Allah atau kepada seseoqang dari bani Adam, maka berwudhulah
dan perbaikilah wudhunya kemudian shalatlag dua rakaat. Lalu hendaklah ia
memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bershalawat kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, dan mengucapkan (doa di atas),
‘Tidak ada sesembahan yang benar
melainkan Allah yang Maha Penyantun dan Mahamulia, Mahasuci Allah Rabb Arsy
yang agung, segala puji milik Allah Rabb sekalian alam, aku memohon kepada-Mu
hal-hal yang menyebabkan datangnya rahmat-Mu, dan yang menyebabkan ampunan-Mu
serta keuntungan dari tiap kebaikan dan keselamatan dari segala dosa. Janganlah
Engkau tinggalkan pada diriku dosa kecuali Engkau ampuni, kegundahan melainkan
Engkau berikan jalan keluarnya, tidak pula suatu kebutuhan yang Engkau ridhai
melainkan Engkau penuhi, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang’.” (HR.
At-Tirmidzi no. 479, Ibnu Majah no. 1384, dan yang lainnya)
Hadits ini tidak bisa dijadikan
hujjah. At-Tirmidzi sendiri mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini, “Hadits
ini gharib [1]. Dalam sanadnya ada pembicaraan, dan Faid bin Abdurrahman dilemahkan
dalam hadits.”
Para ulama pun mencela perawi
tersebut (Faid bin Abdurrahman).
Al-Imam al-Bukhari mengatakan,
“Mungkarul hadits (haditsnya ditinggalkan).”
Al-Imam Ahmad mengatakan, “Matrukul
hadits (haditsnya ditinggalkan).”
Adz-Dzahabi mengatakan, “Tarakuhu
(Para ulama meninggalkannya).”
Adapun Ibnu Hajar mengatakan,
“Matrukun ittahamuhu (Dia ditinggalkan haditsnya, para ulama menuduhnya sebagai
pendusta).”
Atas dasar itu, asy-Syaikh al-Albani
mengatakan bahwa derajat hadits ini dhaifun jiddan (lemah sekali).
Dari kelemahan hadits itulah
sebagian ulama meniadakan shalat hajat, yakni yang dilakukan dengan cara
semacam itu. Wallahu a’lam.
Dewan Fatwa Saudi Arabia atau
al-Lajnah ad-Daimah menyebutkan, “Adapun yang disebut shalat hajat, telah
datang hadits yang dhaif dan mungkar -sebatas pengetahuan kami-, tidak bisa
dijadikan hujjah dan tidak bisa dibangun amalan di atas hadits-hadits
tersebut.” (Ditandatangani oleh Ketua: Abdul Aziz bin Baz, Wakil:
Abdurrazzaq Afifi, Anggota: Abdullah bin Qu’ud dan al-Ghudayyan, 1/161)
Demikian pula asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin mengatakan, “Shalat hajat tidak ada dalilnya yang
shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, diriwayatkan bahwa
apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi suatu masalah
yang menyulitkannya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam segera menuju
shalat, karena Allah berfirman:
“Dan mintalah pertolongan (kepada
Allah) dengan sabar dan
(mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” (Al-Baqarah: 45) [Fatawa Nurun 'ala ad-Darb]
(mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” (Al-Baqarah: 45) [Fatawa Nurun 'ala ad-Darb]
Demikian juga hadits:
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam menghadapi suatu masalah yang menyulitkan beliau, beliau melakukan
shalat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Hasan.”)
Perhatian
Dalam buku-buku mazhab terdahulu
juga dibahas shalat hajat, dengan tata cara pelaksanaan yang
bermacam-macam terutama jumlah rakaatnya. Akan tetapi, semuanya tidak
didasari oleh hadits-hadits yang shahih. Wallahu a’lam.